Sosok Dokter Dibalik Kelahiran Radio Republik Indonesia
Dr. dr. Muhammad Isman Jusuf, Sp.N, FISQua
Departemen Kajian Sejarah dan Kepahlawanan Dokter
Bidang Organisasi PB IDI
Setiap tanggal 11 September diperingati sebagai Hari Radio Nasional sekaligus Hari Kelahiran Radio Republik Indonesia (RRI). Penetapan tersebut berkaitan dengan peristiwa bersejarah yang terjadi di tahun 1945. Ketika itu pada 19 Agustus 1945, radio Hoso Kyoku dihentikan siarannya. Saat itu, masyarakat masih sedikit memiliki informasi dan tidak tahu apa yang harus dilakukan setelah Indonesia merdeka. Menanggapi hal tersebut, sejumlah tokoh yang pernah aktif di radio pada masa penjajahan Belanda dan Jepang menyadari bahwa radio merupakan alat yang diperlukan oleh pemerintah Republik Indonesia untuk berkomunikasi dan memberi tuntunan maupun pedoman kepada rakyat mengenai apa yang harus dilakukan.
Pada 11 September 1945 pukul 17.00, perwakilan dari delapan pengelola Radio Hoso Kyoku mengadakan pertemuan bersama pemerintah di Jakarta. Mereka berkumpul di bekas gedung Raad Van Indje di Pejambon dan diterima sekretaris negara. Salah satu tokoh yang ikut dalam pertemuan tersebut adalah dr. Abdulrahman Saleh. Sebagai ketua delegasi, beliau menguraikan garis besar rencana pada pertemuan tersebut. Ada tiga hal yang direkomendasikan kepada pemerintah RI dalam pertemuan itu. Rekomendasi pertama, dibentuknya Persatuan Radio Republik Indonesia (RRI) yang akan meneruskan penyiaran dari 8 stasiun di Jawa. Rekomendasi kedua yakni mempersembahkan RRI kepada Presiden Sukarno sebagai alat komunikasi dengan rakyat. Rekomendasi ketiga, menyarankan supaya semua hubungan antara pemerintah dan RRI disalurkan melalui dr. Abdulrahman Saleh. Pemerintah RI menyanggupi rekomendasi tersebut dan siap membantu RRI meskipun mereka masih tidak sependapat dalam beberapa hal. Pada pukul 24.00, delegasi dari delapan stasiun radio mengadakan rapat di rumah Adang Kadarusman. Hasil rapat menyepakati didirikannya RRI dengan Abdulrachman Saleh sebagai pemimpinnya. Semboyan RRI, “Sekali di Udara Tetap di Udara”, berasal dari pidato dr. Abdulrahman Saleh yang merupakan Kepala RRI pertama (11 September 1945 – 29 Juli 1947). Siapakah dr. Abdulrahman Saleh?
Tokoh kelahiran Jakarta 1 Juli 1909 ini merupakan sosok multi talenta. Di masa mudanya, beliau aktif dalam sejumlah organisasi pergerakan nasional diantaranya Jong Java, Indonesia Muda dan Kepanduan Indonesia. Beliau juga anggota klub penerbangan di Kemayoran. Lulus dokter pada Sekolah Tinggi Kedokteran (Geneeskundige Hogeschool, GHS) di Batavia tahun 1937, selanjutnya menjadi dosen di Sekolah Dokter Hindia (Nederlands Indische Artsen School, NIAS) Surabaya dan GHS Batavia. Beliau memperdalam ilmu fisiologi atau faal manusia yaitu cabang ilmu kedokteran yang mempelajari fungsi dari organ dan sistem organ pada tubuh manusia. Pada saat itu, ilmu faal masih belum banyak diminati. Atas keberhasilannya mengembangkan bidang ilmu tersebut, maka dr. Abdulrahman Saleh ditetapkan sebagai Bapak Ilmu Faal Indonesia oleh Universitas Indonesia pada tahun 1958.
Peran dr. Abdulrahman Saleh dalam dunia penyiaran radio di Indonesia diawali pada tahun 1934 dengan mendirikan suatu perkumpulan yang bernama Vereniging voor Oosterse Radio-Omroep atau VORO yang merupakan radio penyiar kesenian ketimuran pertama yang ada di Indonesia. Pada tahun 1936, beliau menjadi pemimpin VORO. Sewaktu proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan, dr.Abdurahman Saleh menyiapkan pemancar untuk menyiarkan berita kemerdekaan tersebut ke seluruh penjuru tanah air bahkan ke luar negeri. Pemancar itu dikenal dengan nama Siaran Radio Indonesia Merdeka.
Selanjutnya beliau berdinas di TNI Angkatan Udara dan diangkat menjadi Komandan Pangkalan Udara Madiun pada 1946. Beliau turut mendirikan Sekolah Teknik Udara dan Sekolah Radio Udara di Malang. Di tengah aktifitasnya sebagai tentara, beliau tidak melupakan profesinya sebagai dokter dengan tetap memberikan kuliah dan menjadi Guru Besar pada Perguruan Tinggi kedokteran di Klaten, Jawa Tengah.
Saat terjadi agresi militer pertama Belanda, dr.Abdulrahman Saleh bersama Adisutjipto ditugaskan ke India. Ketika perjalanan pulang pada 29 Juli 1947, keduanya mampir ke Singapura untuk mengambil bantuan obat-obatan dari Palang Merah Malaya lewat penerbangan Dakota VT-CLA. Namun pesawat itu ditembak oleh pesawat P-40 Kitty-Hawk milik Belanda, hingga jatuh dan terbakar sesaat sebelum tiba di Maguwoharjo, Sleman. Keduanya gugur dalam peristiwa tersebut. dan dinaikkan pangkatnya secara anumerta.
Peristiwa heroik ini, diperingati oleh jajaran TNI AU sebagai hari Bakti TNI AU sejak tahun 1962. Unuk menghargai jasa-jasanya bagi bangsa dan negara, maka nama dr.Abdulrahman Saleh diabadikan sebagai nama Pangkalan TNI-AU dan Bandar Udara di Malang serta nama piala bergilir Kompetisi Kedokteran dan Biologi Umum yang diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Namanya juga diabadikan sebagai nama jalan di Kwitang, Jakarta, dan di Bandung. Beliau ditetapkan oleh pemerintah sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No.071/TK/Tahun 1974, tanggal 9 November 1974.
Selamat Hari Radio Nasional. Alfatehah untuk Almarhum Marsekal Muda TNI Anumerta Prof. dr. Abdulrahman Saleh, Perintis Radio Republik Indonesia.